Jumat, 14 November 2014

Seni Rupa Dan Kesadaran Ekologis

The Last Paradise adalah julukan yang, hingga kini, masih disandang oleh pulau Bali sebagai destinasi utama yang dikunjungi wisatawan dari seluruh dunia. Eksotika panorama alam tropis yang tergambar dalam birunya laut, lengkap dengan pasir putih dan sunset sebagai ornamen pendukungnya. Citraan itulah yang tentunya sudah melekat dalam benak semua orang dari seluruh penjuru dunia sebagai ekses dari reproduksi citra yang ditopang oleh kuatnya modal dari para penggerak industri pariwisata.
Tidak bisa dipungkiri memang, godaan mata uang asing memang menggiurkan bagi masyarakat dari sebuah negara berkembang. Kemandirian finansial yang belum tertata rapi secara sistematika sosial, dan kultur masyarakat yang terbuka sangat memungkinkan masuknya para investor di sektor wisata. Apalagi dengan modal dasar melimpah dari segi alam dan kultural sebagai daya tarik utama wisatawan.
Di Bali, industri pariwisata telah menjadi penggerak utama perekonomian masyarakatnya sejak kisaran tahun 1950-an. Hal ini tidak lepas dari peran pemerintah pusat yang terus membuka kran bagi investor untuk masuk dan menggerakkan roda industrinya di Bali. Mungkin sudah lebih dari seratus juta wisatawan yang datang ke Bali sejak kurun waktu tersebut. Seolah-olah, wisatawan sudah menjadi bagian dari tata sosial masyarakat. Mereka sudah begitu leluasa keluar masuk, berseliweran di antara aktifitas sosial dan keagamaan yang dilakukan masyarakat. Bahkan masyarakatnya sendiri pun, sudah tidak risih ketika tengah kusyuk berdoa, dan disampingnya seorang wisatawan asyik memotretnya berulang kali.
Ekses utama dari penggembangan industri prawisata secara jor-joran yang paling nampak saat ini adalah semakin pudarnya relasi antara manusia dan alam, yang padahal merupakan ruh dari tradisi masyarakat Bali secara turun temurun. Alih fungsi lahan hijau menjadi bangunan-bangunan infrastruktur penopang pariwisata tentu berimbas langsung pada makin tergerusnya eksistensi alam sebagai penopang utama keseimbangan ekologi.
Berbagai elemen masyarakat yang peduli terhadap persoalan tersebut berusaha melontarkan kritik terhadap pemerintah, tidak luput beberapa perupa yang turut menyuarakan kritik dengan menggelar pameran. Adalah Galangkangin, kelompok seni rupa yang dimotori oleh I made supena menggelar sebuah pameran dengan tajuk “kesadaran makro ekologis” di Bentara Budaya Bali (20/9) sebagai bentuk kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan ekologis yang terjadi di Bali.
Air menjadi elemen utama yang disoroti oleh mereka. Dengan mengusung gagasan transformasi air dalam ruang seni rupa, mereka mencoba menampilkan berbagai bentuk instalasi yang menggunakan air sebagai pijakan berpikirnya. Bagi mereka, air merupakan sumber kehidupan. Dalam aspek kosmologis, di Bali air juga menjadi komponen utama penggerak sistem sosial dan ekonomi masyarakatnya yang masih didominasi oleh tradisi agraris.
Minimnya kesadaran masyarakat dalam menjaga keberlangsungan hidup dengan melestarikan air sebagai komponen utama penyangga alam, menjadi keprihatinan utamanya. Melalui pameran tersebut, Galangkangin melakukan sebuah upaya edukasi terhadap masyarakat mengenai pentingnya air bagi kehidupan, tentu dengan tujuan agar masyarakat semakin peduli dan turut serta menjaga kelestarian alam.
Karya Widodo Kabutdo di atas medium plastik bekas
Karya Widodo Kabutdo di atas medium plastik bekas
Ini bukan kali pertama Galangkangin mengusung tema pelestarian alam dalam pamerannya. Pada 2012 lalu, Galangkangin juga menggelar pameran bertema serupa di Griya Santrian, Sanur. Saat itu, isu utama yang diusung adalah mengenai peralihan fungsi lahan pertanian menjadi hunian. Semakin meningkatnya jumlah populasi masyarakat yang tinggal di Bali, tidak hanya dari semakin berkembangnya masyarakat lokal, melainkan juga jumlah pendatang yang terus meningkat setiap tahunnya menuntut semakin luasnya areal pemukiman yang dapat ditempati. Hal ini tentu menuntut adanya alih fungsi lahan.
Di Bali sendiri, alam, lingkungan, dan persoalan lingkungan masih menjadi tema utama yang disuarakan oleh para perupa. Beberapa nama di luar kelompok Galangkangin, seperti Made Bayak, Widodo Kabutdo, Bakti Wiyasa, hingga maestro Made Wianta masih menunjukkan kepeduliannya terhadap persoalan ekologis yang kini menjadi persoalan utama di Bali.
Made Bayak dan Widodo Kabutdo, dalam beberapa karyanya cukup konsisten untuk bertransformasi media dari kanvas ke plastik bekas. Mereka tidak lagi melukis di atas kanvas, melainkan di plastik-plastik limbah rumah tangga yang mereka peroleh dari kehidupannya sehari-hari. Kesadaran ini tumbuh dari kegelisahan mengenai tingginya penggunaan plastik dalam kehidupan, padahal limbah plastik bersifat anorganik dan membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk dapat terurai sempurna.
Sejak disentuh oleh industri pariwisata, secara perlahan-lahan, Bali mengalami degradasi ekologis yang cukup signifikan. Persoalan-persoalan kelestarian lingkungan dan semakin menurunnya jumlah lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi infrastruktur penopang pariwisata, pada akhirnya menjadi isu yang terus berulang dan terngiang-ngiang di telinga. Maka dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk dapat mengembalikannya ke kondisi semula, atau setidaknya mencegah kerusakan yang lebih parah. Dan para perupa, bersiap untuk menggedor kesadaran mereka melalui karya-karya yang bernas dan kritis.
Dwi S. Wibowo
- See more at: http://jogjareview.net/seni/seni-rupa-dan-kesadaran-ekologis/#sthash.MCLNCegs.dpuf


http://jogjareview.net/seni/seni-rupa-dan-kesadaran-ekologis/ 
 http://jogjareview.net/category/seni/

 Seni Rupa dan Kesadaran Ekologis

Seni Rupa dan Kesadaran Ekologis

Jogjareview.net | 10-Okt-2014 08:10:31
- See more at: http://jogjareview.net/seni/seni-rupa-dan-kesadaran-ekologis/#sthash.MCLNCegs.dpuf

Seni Rupa dan Kesadaran Ekologis



The Last Paradise adalah julukan yang, hingga kini, masih disandang oleh pulau Bali sebagai destinasi utama yang dikunjungi wisatawan dari seluruh dunia. Eksotika panorama alam tropis yang tergambar dalam birunya laut, lengkap dengan pasir putih dan sunset sebagai ornamen pendukungnya. Citraan itulah yang tentunya sudah melekat dalam benak semua orang dari seluruh penjuru dunia sebagai ekses dari reproduksi citra yang ditopang oleh kuatnya modal dari para penggerak industri pariwisata.
Tidak bisa dipungkiri memang, godaan mata uang asing memang menggiurkan bagi masyarakat dari sebuah negara berkembang. Kemandirian finansial yang belum tertata rapi secara sistematika sosial, dan kultur masyarakat yang terbuka sangat memungkinkan masuknya para investor di sektor wisata. Apalagi dengan modal dasar melimpah dari segi alam dan kultural sebagai daya tarik utama wisatawan.
Di Bali, industri pariwisata telah menjadi penggerak utama perekonomian masyarakatnya sejak kisaran tahun 1950-an. Hal ini tidak lepas dari peran pemerintah pusat yang terus membuka kran bagi investor untuk masuk dan menggerakkan roda industrinya di Bali. Mungkin sudah lebih dari seratus juta wisatawan yang datang ke Bali sejak kurun waktu tersebut. Seolah-olah, wisatawan sudah menjadi bagian dari tata sosial masyarakat. Mereka sudah begitu leluasa keluar masuk, berseliweran di antara aktifitas sosial dan keagamaan yang dilakukan masyarakat. Bahkan masyarakatnya sendiri pun, sudah tidak risih ketika tengah kusyuk berdoa, dan disampingnya seorang wisatawan asyik memotretnya berulang kali.
Ekses utama dari penggembangan industri prawisata secara jor-joran yang paling nampak saat ini adalah semakin pudarnya relasi antara manusia dan alam, yang padahal merupakan ruh dari tradisi masyarakat Bali secara turun temurun. Alih fungsi lahan hijau menjadi bangunan-bangunan infrastruktur penopang pariwisata tentu berimbas langsung pada makin tergerusnya eksistensi alam sebagai penopang utama keseimbangan ekologi.
Berbagai elemen masyarakat yang peduli terhadap persoalan tersebut berusaha melontarkan kritik terhadap pemerintah, tidak luput beberapa perupa yang turut menyuarakan kritik dengan menggelar pameran. Adalah Galangkangin, kelompok seni rupa yang dimotori oleh I made supena menggelar sebuah pameran dengan tajuk “kesadaran makro ekologis” di Bentara Budaya Bali (20/9) sebagai bentuk kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan ekologis yang terjadi di Bali.
Air menjadi elemen utama yang disoroti oleh mereka. Dengan mengusung gagasan transformasi air dalam ruang seni rupa, mereka mencoba menampilkan berbagai bentuk instalasi yang menggunakan air sebagai pijakan berpikirnya. Bagi mereka, air merupakan sumber kehidupan. Dalam aspek kosmologis, di Bali air juga menjadi komponen utama penggerak sistem sosial dan ekonomi masyarakatnya yang masih didominasi oleh tradisi agraris.
Minimnya kesadaran masyarakat dalam menjaga keberlangsungan hidup dengan melestarikan air sebagai komponen utama penyangga alam, menjadi keprihatinan utamanya. Melalui pameran tersebut, Galangkangin melakukan sebuah upaya edukasi terhadap masyarakat mengenai pentingnya air bagi kehidupan, tentu dengan tujuan agar masyarakat semakin peduli dan turut serta menjaga kelestarian alam.
Karya Widodo Kabutdo di atas medium plastik bekas
Karya Widodo Kabutdo di atas medium plastik bekas
Ini bukan kali pertama Galangkangin mengusung tema pelestarian alam dalam pamerannya. Pada 2012 lalu, Galangkangin juga menggelar pameran bertema serupa di Griya Santrian, Sanur. Saat itu, isu utama yang diusung adalah mengenai peralihan fungsi lahan pertanian menjadi hunian. Semakin meningkatnya jumlah populasi masyarakat yang tinggal di Bali, tidak hanya dari semakin berkembangnya masyarakat lokal, melainkan juga jumlah pendatang yang terus meningkat setiap tahunnya menuntut semakin luasnya areal pemukiman yang dapat ditempati. Hal ini tentu menuntut adanya alih fungsi lahan.
Di Bali sendiri, alam, lingkungan, dan persoalan lingkungan masih menjadi tema utama yang disuarakan oleh para perupa. Beberapa nama di luar kelompok Galangkangin, seperti Made Bayak, Widodo Kabutdo, Bakti Wiyasa, hingga maestro Made Wianta masih menunjukkan kepeduliannya terhadap persoalan ekologis yang kini menjadi persoalan utama di Bali.
Made Bayak dan Widodo Kabutdo, dalam beberapa karyanya cukup konsisten untuk bertransformasi media dari kanvas ke plastik bekas. Mereka tidak lagi melukis di atas kanvas, melainkan di plastik-plastik limbah rumah tangga yang mereka peroleh dari kehidupannya sehari-hari. Kesadaran ini tumbuh dari kegelisahan mengenai tingginya penggunaan plastik dalam kehidupan, padahal limbah plastik bersifat anorganik dan membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk dapat terurai sempurna.
Sejak disentuh oleh industri pariwisata, secara perlahan-lahan, Bali mengalami degradasi ekologis yang cukup signifikan. Persoalan-persoalan kelestarian lingkungan dan semakin menurunnya jumlah lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi infrastruktur penopang pariwisata, pada akhirnya menjadi isu yang terus berulang dan terngiang-ngiang di telinga. Maka dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk dapat mengembalikannya ke kondisi semula, atau setidaknya mencegah kerusakan yang lebih parah. Dan para perupa, bersiap untuk menggedor kesadaran mereka melalui karya-karya yang bernas dan kritis.
Dwi S. Wibowo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar