Mural Raksasa di Tebing Bekas Galian C
BROWN CANYON
RADAR SEMARANG
10 Oktober 2016
BROWN Canyon di mata Widodo Kabutdo, 33, merupakan tempat yang memiliki daya tarik tersendiri. Ia melihat tebing-tebing batu, padas dan tanah tersebut ibarat ”kanvas” raksasa. Seniman kelahiran Tegal yang selama ini dikenal dengan karya-karya berbahan sampah plastik ini, tengah membuat mural raksasa di tebing Brown Canyon.
Sudah sekitar sebulan Widodo berkarya di Brown Canyon. Sebuah dinding padas sepanjang sekitar 25 meter sudah dihiasi lukisan meski baru konsep awal yang jauh dari selesai. Figur yang ditampilkan serupa benda yang meliuk mirip ular, ikan, tangga dan lainnya. Ia menggunakan cat genteng yang antiair untuk mewarnai tebing-tebing batu dan padas.
”Gambar ini menyangkut sisi spiritual diri saya yang digabung dengan mitologi Desa Rowosari tapi dengan sentuhan modern,” tutur Widodo yang mengeluarkan dana pribadi untuk mewujudkan karya seni ini.
Perupa otodidak dengan pendidikan formal Sekolah Teknik Menengah (STM) jurusan teknik mesin di Bandung ini menjelaskan, objek yang meliuk-liuk tersebut mencul begitu saja dalam pikirannya ketika pertama kali menyusun konsep gambar yang akan dibuat. Ternyata sketsa awal itu membuat kaget warga setempat. Sebab berdasarkan kepercayaan warga setempat, penunggu kawasan Brown Canyon adalah ular
”Saya menggunakan pendekatan mitologi setempat untuk mencari inspirasi di situs Watu Lumbung ini,” jelas perupa yang pernah 5 tahun tinggal di Bali ini.
Watu Lumbung adalah sebuah batu raksasa di lokasi ini yang dikeramatkan sebagian warga. Di masa lalu, bila kemarau panjang menimpa kawasan Rowosari, maka warga akan berdoa di Watu Lumbung untuk meminta hujan.
Rencananya, Widodo tidak hanya memajang mural di tebing pada kegiatan yang ia namai Sekolah Tinggi Alam Jagat Raya (STAJR) Artventure Project ini. Dalam konsepnya, akan ada seni instalasi yang ditempatkan di atas kubangan air bekas lokasi galian C. Ia juga berangan-angan bisa menampilkan video mapping pada dinding padas menjulang tinggi yang menjadi ikon Brown Canyon.
Aktivitas Widodo ini ternyata juga menarik perhatian anak-anak di sekitar Rowosari. Mereka ada yang tertarik ikut menggambar di tebing sesuai dengan konsep yang telah direncanakan. Selain itu, setiap Sabtu dan Minggu, Widodo juga menggelar workshop melukis dengan bahan debu yang langsung diminati anak-anak.
Pengamat Seni Rupa Semarang Tubagus P Svarajati melihat karya Widodo ini masuk kategori environmental art atau seni lingkungan. Widodo merespons dan memberikan artikulasi baru terhadap lingkungan yang digarapnya.
Tubagus melihat, praktik yang dilakukan Widodo ini sebenarnya lazim di mana-mana. Tapi khusus di Semarang, ini tergolong baru karena ia menyimpang dari kelaziman sebagian besar perupa Semarang yang khusyuk bekerja di studio.
”Dengan menggambari dinding atau tebing bekas galian itu, praktik Widodo mirip yang dilakukan oleh manusia purba di gua-gua. Ia meninggalkan jejak-jejak dan pesan,” jelasnya.
Dalam wacana seni rupa kontemporer, lanjut Tubagus, Widodo telah menjadikan lanskap Brown Canyon sebagai kanvas besar bagi perupaan yang diproduksinya. Ini pilihan estetik dan artistik yang cerdas dan dahsyat.
”Dengan cara itu, ia memberikan makna baru terhadap Brown Canyon. Bukan saja sebagai situs yang terbengkalai, sekadar lokasi pemotretan semenjana. Gubahan Widodo itu memberikan nilai lebih sebagai situs kultural dan area wisata baru.” (*/ida/ce1)
source :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar