Selasa, 29 Oktober 2024

Di Antara Dua Dunia karya widodo kabutdo


 Di Antara Dua Dunia: Sebuah Eksplorasi Identitas dalam Lukisan Widodo Kabutdo

Lukisan karya Widodo Kabutdo, dengan judul  "Di Antara Dua Dunia", mengajak kita menyelami kedalaman jiwa manusia melalui visual yang kaya simbolisme. Karya ini, yang digarap dengan teknik realis dan surealis, menyajikan sebuah narasi kompleks tentang identitas, pengucilan, dan pencarian makna hidup.

Dalam kanvasnya, Widodo Kabutdo menghadirkan perpaduan menarik antara elemen alam dan benda-benda modern. Pohon-pohon purba, perkampungan tradisional, dan makhluk-makhluk mitologis seperti buaya dan burung berdampingan dengan objek-objek kontemporer seperti prosotan dan balon. Kontras yang kuat ini menciptakan sebuah dunia yang penuh teka-teki, di mana masa lalu dan masa depan, alam dan budaya, saling berinteraksi.




 * Hutan sebagai Metafora: Hutan dalam lukisan ini melambangkan alam bawah sadar manusia, tempat di mana pikiran dan emosi yang paling dalam bersemayam. Ini adalah tempat di mana individu dapat menemukan identitas sejati mereka.

 * Buaya sebagai Simbol Kekuatan dan Perubahan: Buaya, dengan sifatnya yang kuat dan misterius, seringkali dikaitkan dengan kekuatan alam dan perubahan. Dalam lukisan ini, buaya melambangkan kekuatan lingkungan untuk membentuk dan mengubah individu.

 * Burung sebagai Simbol Kebebasan: Burung seringkali dikaitkan dengan kebebasan dan spiritualitas. Dalam konteks lukisan ini, burung mungkin melambangkan keinginan untuk melepaskan diri dari batasan dan menemukan identitas sejati.

 * Telur sebagai Simbol Kelahiran Kembali: Telur melambangkan potensi dan awal mula kehidupan baru. Dalam konteks lukisan ini, telur mungkin mewakili harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Konflik Identitas dan Pengucilan

Kisah anak yang dikucilkan menjadi benang merah dalam lukisan ini. Pengalaman pengucilan ini mendorong individu untuk mencari identitas yang unik dan berbeda. Hutan belantara dalam lukisan menjadi tempat pelarian bagi individu yang merasa tidak diterima di lingkungannya.

Benturan Masa Lalu dan Masa Kini

Lukisan ini juga menyoroti benturan antara tradisi dan modernitas. Elemen-elemen tradisional seperti pohon purba dan perkampungan primitif berhadapan dengan benda-benda modern seperti prosotan dan balon. Kontras ini menggambarkan kompleksitas pengalaman manusia dalam menghadapi perubahan zaman.

Pengaruh Budaya Lokal




Inspirasi dari cerita rakyat suku Kamoro memberikan dimensi tambahan pada lukisan ini. Cerita-cerita rakyat seringkali mengandung simbolisme yang mendalam dan relevan dengan pengalaman manusia universal. Dalam konteks lukisan ini, cerita rakyat suku Kamoro mungkin memberikan wawasan tentang bagaimana budaya dapat membentuk identitas individu.

Dengan menggunakan teknik surealis, Widodo Kabutdo menciptakan dunia yang penuh keajaiban dan misteri. Gaya surealis memungkinkan seniman untuk menggabungkan elemen realitas dan fantasi, serta mengeksplorasi alam bawah sadar. Melalui gaya ini, penonton diajak untuk berpartisipasi aktif dalam proses interpretasi dan menemukan makna pribadi dalam lukisan.

Lukisan ini mengajak kita untuk merenungkan tentang identitas, pengucilan, dan pencarian makna hidup. Pesan utama yang ingin disampaikan adalah pentingnya menghargai diri sendiri dan menemukan jati diri di tengah pengaruh lingkungan. Selain itu, lukisan ini juga menyoroti kekuatan alam dan lingkungan dalam membentuk kehidupan manusia.

"Di Antara Dua Dunia" adalah sebuah karya seni yang kaya akan makna dan simbolisme. Melalui eksplorasi yang mendalam tentang identitas, pengucilan, dan hubungan manusia dengan lingkungan, lukisan ini mengajak kita untuk merenungkan tentang perjalanan hidup kita sendiri. Karya ini juga menjadi bukti bahwa seni dapat menjadi sarana yang kuat untuk menyampaikan pesan yang kompleks dan universal

Senin, 21 Oktober 2024

Revolusi Evolusi

 


Judul: Revolusi Evolusi

Judul ini sangat menarik karena menyiratkan dua proses yang berlawanan namun saling melengkapi. Revolusi biasanya dikaitkan dengan perubahan yang cepat dan radikal, sementara evolusi merujuk pada perubahan yang lambat dan bertahap. Kontradiksi ini menciptakan semacam ketegangan yang menarik dan mengundang kita untuk berpikir lebih dalam. Dalam konteks karya seni ini, judul ini mengisyaratkan sebuah transformasi besar yang terjadi akibat perkembangan manusia, baik dari segi positif maupun negatif.

Media: Kantong Plastik Bekas

Penggunaan kantong plastik bekas sebagai media utama adalah sebuah pernyataan yang sangat kuat. Kantong plastik sering dianggap sebagai simbol konsumsi berlebihan dan masalah lingkungan. Dengan menggunakan bahan "sampah" ini, seniman ingin menyoroti paradoks modernitas: di satu sisi kita menciptakan inovasi teknologi yang luar biasa, di sisi lain kita menghasilkan begitu banyak limbah.

Gambar Tangan Mengepal

Gambar tangan yang mengepal di tengah karya ini adalah simbol kekuatan dan perlawanan. Ini bisa diartikan sebagai representasi dari semangat manusia untuk mempertahankan ide-ide dan prinsip-prinsipnya. Namun, tangan ini juga terlihat terkurung dalam lingkaran, yang mungkin melambangkan batasan-batasan atau tantangan yang dihadapi dalam perjuangan tersebut.

Warna dan Kontras

Penggunaan warna merah yang mencolok pada gambar tangan menciptakan kontras yang kuat dengan latar belakang putih. Merah sering dikaitkan dengan semangat, keberanian, dan bahkan bahaya. Kontras ini semakin menegaskan pesan tentang perjuangan dan perlawanan.

Konsep yang Ingin Disampaikan

Seniman melalui karya ini:

 * Evolusi Manusia dan Dampaknya: Karya ini mengajak kita untuk merenungkan bagaimana perkembangan manusia, yang sering disebut sebagai evolusi, telah membawa perubahan besar pada lingkungan dan kehidupan kita.

 * Perlawanan dan Adaptasi: Gambar tangan yang mengepal melambangkan semangat manusia untuk bertahan dan beradaptasi di tengah perubahan yang cepat.

 * Transformasi Sampah Menjadi Seni: Dengan mengubah kantong plastik menjadi karya seni, seniman menunjukkan bahwa bahkan benda-benda yang dianggap tidak berharga pun dapat diubah menjadi sesuatu yang indah dan bermakna.

 * Kritik Sosial: Karya ini juga merupakan kritik sosial terhadap konsumsi berlebihan dan masalah lingkungan. Seniman mengajak kita untuk lebih sadar akan dampak tindakan kita terhadap lingkungan.

 * Apresiasi Terhadap Benda Sederhana: Seniman ingin kita melihat lebih dalam pada benda-benda sehari-hari dan menemukan makna yang tersembunyi di dalamnya. Kantong plastik, yang sering dianggap sebagai sampah, dalam karya ini menjadi simbol dari sebuah peradaban dan sejarah.

Secara keseluruhan, karya ini dapat diartikan sebagai sebuah refleksi kritis terhadap kondisi manusia dan peradaban modern. Seniman mengajak kita untuk melihat lebih dalam pada benda-benda sehari-hari dan menemukan makna yang tersembunyi di dalamnya. Karya ini juga mendorong kita untuk lebih menghargai lingkungan dan mencari cara untuk hidup berkelanjutan.

Karya ini juga dapat diinterpretasikan sebagai sebuah panggilan untuk tindakan. Seniman tidak hanya ingin kita merenungkan masalah lingkungan, tetapi juga mengajak kita untuk mengambil tindakan nyata dalam mengatasi masalah tersebut.

Karya seni ini adalah sebuah karya yang kaya makna dan mengundang banyak interpretasi. Melalui penggunaan simbol-simbol yang kuat dan pemilihan media yang unik, seniman berhasil menyampaikan pesan yang kompleks tentang manusia, lingkungan, dan peradaban.


Jumat, 18 Oktober 2024

Ulterior





 Judul: "Ulterior" 

Inkon waste plastic.

mengindikasikan adanya motif tersembunyi atau makna di balik permukaan karya.

 * Media: Penggunaan limbah plastik menarik karena material ini sering diasosiasikan dengan masalah lingkungan dan konsumerisme.

 * Subjek: Otak, kepala, dan paru-paru adalah simbol-simbol universal yang kaya makna.

 * Tema: Perenungan mendalam tentang pemikiran manusia, peradaban, dan pencarian solusi.


 * Otak dengan Banyak Kepala: Mungkin melambangkan kompleksitas pikiran manusia, overload informasi, atau berbagai perspektif yang saling bertentangan.

 * Potongan-Potongan Kepala: Bisa jadi representasi dari fragmen-fragmen pengetahuan, ide-ide yang belum terhubung, atau bahkan kepribadian yang terpecah-pecah.

 * Paru-paru: Organ vital yang berkaitan dengan kehidupan dan pernapasan, mungkin melambangkan proses berpikir itu sendiri atau bagaimana ide-ide "bernapas" dan berkembang.

 * Limbah Plastik: Membawa konotasi negatif tentang pencemaran, tetapi dalam konteks seni ini bisa diartikan sebagai metafora untuk "pencemaran" pikiran oleh informasi yang berlebihan atau ide-ide yang usang.

Kemungkinan Makna Keseluruhan:

Karya ini sepertinya mengajak kita untuk merenungkan cara kita berpikir dan mencari solusi. Dengan menggunakan simbol-simbol yang kuat dan material yang provokatif, Widodo Kabutdo mungkin ingin menyoroti:

 * Beban pemikiran: Kita seringkali terbebani oleh banyak informasi dan ekspektasi.

 * Perlunya inovasi: Kita perlu melampaui cara berpikir yang sudah mapan untuk menemukan solusi baru.

 * Keterkaitan antara individu dan lingkungan: Pikiran kita dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, baik fisik maupun sosial.

Kesimpulan:

"Ulterior" adalah karya yang kompleks dan multi-interpretasi. Dengan menggabungkan elemen visual yang kuat dan tema yang relevan, Widodo Kabutdo berhasil menciptakan sebuah karya yang mengundang penonton untuk berpikir lebih dalam tentang diri mereka dan dunia di sekitar mereka.

Rabu, 16 Oktober 2024

Karya widodo kabutdo

 



Judul:Hunting

Media:ink plastik on paper plastik 

2014


Analisis Visual dan Simbolisme:

 * Sosok Manusia dengan "Otak" Kompleks: Sosok manusia yang digambarkan dengan "otak" yang berisi banyak kepala merupakan metafora yang kuat. Ini bisa diartikan sebagai representasi dari pikiran manusia modern yang dipenuhi oleh berbagai informasi, ide, dan suara yang saling bersaing.

 * Lapisan Pohon dengan Tangan: Lapisan ini bisa diinterpretasikan sebagai simbol pertumbuhan, pengetahuan, atau jaringan koneksi. Tangan-tangan yang menjulur keluar bisa melambangkan pencarian pengetahuan yang tak berujung, namun juga bisa menjadi metafora dari belenggu informasi yang membatasi pemikiran.

 * Mirip Belalai Gajah: Perbandingan dengan belalai gajah menghubungkan karya ini dengan konsep kekuatan, kebijaksanaan, dan kemampuan adaptasi. Namun, dalam konteks ini, belalai gajah mungkin juga merujuk pada "trunks" atau batang-batang plastik yang menjadi masalah lingkungan.

 * Media Plastik dan Ink Plastik: Penggunaan media ini secara langsung mengacu pada permasalahan plastik yang menjadi fokus utama karya ini. Plastik yang sering dianggap sebagai simbol kemajuan teknologi kini menjadi ancaman bagi lingkungan dan kehidupan manusia.

Makna dan Interpretasi:

Secara keseluruhan, karya ini menyuarakan keprihatinan terhadap dampak negatif dari perkembangan teknologi dan konsumsi plastik terhadap pikiran dan peradaban manusia. "Hunting" bisa diartikan sebagai upaya manusia modern untuk mencari pengetahuan dan kemajuan, namun justru terjebak dalam labirin informasi yang semakin kompleks dan mencemari pikiran.

 * Beban Pengetahuan: Banyaknya kepala di dalam "otak" bisa menggambarkan beban informasi yang harus diolah oleh manusia modern. Informasi yang berlebihan dapat menyebabkan kebingungan, stres, dan bahkan kerusakan mental.

 * Perbudakan Teknologi: Tangan-tangan yang menjulur keluar bisa diartikan sebagai ketergantungan manusia pada teknologi. Kita sering kali merasa terikat pada perangkat elektronik dan informasi digital, sehingga sulit untuk membebaskan diri dari pengaruhnya.

 * Ancaman terhadap Lingkungan: Penggunaan plastik sebagai media utama dalam karya ini adalah kritik terhadap pencemaran lingkungan akibat sampah plastik. Plastik yang sulit terurai menjadi ancaman bagi ekosistem dan kesehatan manusia.

 * Krisis Peradaban: Karya ini juga bisa dilihat sebagai refleksi terhadap krisis peradaban yang kita hadapi saat ini. Kemajuan teknologi yang pesat tidak selalu diikuti oleh peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia.

Koneksi dengan Judul "Hunting":

Judul "Hunting" bisa diinterpretasikan sebagai upaya manusia untuk mencari sesuatu yang berharga di tengah tumpukan informasi dan sampah plastik. Namun, perburuan ini seringkali sia-sia karena kita terjebak dalam lingkaran yang tak berujung.

Kesimpulan:

Karya "Hunting" karya Widodo Kabutdo adalah sebuah karya yang sangat relevan dengan isu-isu kontemporer. Melalui simbolisme yang kuat, karya ini mengajak kita untuk merenungkan dampak dari perkembangan teknologi dan konsumsi terhadap kehidupan manusia dan lingkungan. Karya ini juga menjadi pengingat bagi kita untuk lebih bijak dalam memanfaatkan teknologi dan mengurangi penggunaan plastik.


Sabtu, 19 Januari 2019

KUMPARAN (lukisan tebing brown canyon)

Lukisan Tebing Brown Canyon Widodo Kabutdo



Perjalanan kesenian seniman memang kerap dimotivasi dengan ide-ide 'gila' untuk dapat menemukan spirit dalam karya yang akan dibuatnya. Seperti yang dilakukan oleh Widodo Kabutdo, seniman otodidak yang kini tinggal di Semarang setelah persinggahannya dalam berkesenian di Bali. Widodo yang sempat mengikuti test masuk STSI Bandung ini lebih sering belajar dari "perjalanan kehidupan". Merespon kondisi sosial budaya yang menurutnya perlu disikapi dalam bentuk proses berkarya, seperti halnya merespon  tebing Brown Canyon, salah satu bekas tambang galian golongan C di Rowosari, Tembalang, Semarang. Tempat yang jauh dari keramaian dan melewati tempat pembuangan sampah tersebut disiapkan sebagai tempat membuat karya yang disebutnya "Perjalanan Menuju Anugrah".


Dari awal proses berkarya di Brown Canyon ini, Widodo kerap memposting di sosial media perihal keinginannya membuat karya di bukit kapur. Dia sepertinya berusaha terbuka mengenalkan ide-idenya berjalan dan mengalir hingga mendapat respon dan dukungan dari netizen baik moril maupun materiil.


Menarik selama proses karya berlangsung, aktifitasnyayang dimulai pada pertengahan Agustus 2016  ini memancing rasa penasaran publik setelah publikasinya yang rutin dilakukan disosial media. Dia pun lantas membuat workshop lukisan dari debu untuk anak-anak kampung sekitar.


 ”Konturnya berlapis, memaknai kebesaran Tuhan yang keagungannya berlapis. Membuat jelmaan alam. Lilitan-lilitan itu bisa berupa alam, bisa pohon, bisa penjaga di sini.” Bentuk lain yang ia gambar adalah tangga tanpa pondasi. Widodo menggambarkan filosofi hidup seperti anak tangga, dan pondasi adalah keyakinan atau keimanan.  Begitu Widodo menjelaskan makna filosofi dari keindahan alam Brown Canyon dan menggugahnya membuat karya disana.


Pria kelahiran Tegal, 24 Juli 1982  ini meyakinkan bahwa proses berkaryanya tersebut merupakan proyek pribadi dan bertujuan sosial dengan harapan dapat memberi nilai ekonomi bagi masyarakat setempat. Sungguh niat dan laku seni yang mulia dari seorang seniman yang masih jauh dari 'mapan' namun mau berfikir dan berbuat untuk masyarakat.


Indonesian Art & Culture Community menempatkan karya Widodo Kabutdo sebagai karya paling spektakuler sepanjang tahun 2016 dan patut ditiru oleh seniman yang konsen pada gerakan realisme sosial. Selamat buat Widodo Kabutdo.


Source :

Selasa, 15 Januari 2019

Mural Raksasa di Tebing Bekas Galian C (BROWN CANYON)

Mural Raksasa di Tebing Bekas Galian C 
BROWN CANYON


RADAR SEMARANG
10 Oktober 2016


BROWN Canyon di mata Widodo Kabutdo, 33, merupakan tempat yang memiliki daya tarik tersendiri. Ia melihat tebing-tebing batu, padas dan tanah tersebut ibarat ”kanvas” raksasa. Seniman kelahiran Tegal yang selama ini dikenal dengan karya-karya berbahan sampah plastik ini, tengah membuat mural raksasa di tebing Brown Canyon.

Sudah sekitar sebulan Widodo berkarya di Brown Canyon. Sebuah dinding padas sepanjang sekitar 25 meter sudah dihiasi lukisan meski baru konsep awal yang jauh dari selesai. Figur yang ditampilkan serupa benda yang meliuk mirip ular, ikan, tangga dan lainnya. Ia menggunakan cat genteng yang antiair untuk mewarnai tebing-tebing batu dan padas.



”Gambar ini menyangkut sisi spiritual diri saya yang digabung dengan mitologi Desa Rowosari tapi dengan sentuhan modern,” tutur Widodo yang mengeluarkan dana pribadi untuk mewujudkan karya seni ini.

Perupa otodidak dengan pendidikan formal Sekolah Teknik Menengah (STM) jurusan teknik mesin di Bandung ini menjelaskan, objek yang meliuk-liuk tersebut mencul begitu saja dalam pikirannya ketika pertama kali menyusun konsep gambar yang akan dibuat. Ternyata sketsa awal itu membuat kaget warga setempat. Sebab berdasarkan kepercayaan warga setempat, penunggu kawasan Brown Canyon adalah ular 



”Saya menggunakan pendekatan mitologi setempat untuk mencari inspirasi di situs Watu Lumbung ini,” jelas perupa yang pernah 5 tahun tinggal di Bali ini.

Watu Lumbung adalah sebuah batu raksasa di lokasi ini yang dikeramatkan sebagian warga. Di masa lalu, bila kemarau panjang menimpa kawasan Rowosari, maka warga akan berdoa di Watu Lumbung untuk meminta hujan.

Rencananya, Widodo tidak hanya memajang mural di tebing pada kegiatan yang ia namai Sekolah Tinggi Alam Jagat Raya (STAJR) Artventure Project ini. Dalam konsepnya, akan ada seni instalasi yang ditempatkan di atas kubangan air bekas lokasi galian C. Ia juga berangan-angan bisa menampilkan video mapping pada dinding padas menjulang tinggi yang menjadi ikon Brown Canyon.

Aktivitas Widodo ini ternyata juga menarik perhatian anak-anak di sekitar Rowosari. Mereka ada yang tertarik ikut menggambar di tebing sesuai dengan konsep yang telah direncanakan. Selain itu, setiap Sabtu dan Minggu, Widodo juga menggelar workshop melukis dengan bahan debu yang langsung diminati anak-anak.

Pengamat Seni Rupa Semarang Tubagus P Svarajati melihat karya Widodo ini masuk kategori environmental art atau seni lingkungan. Widodo merespons dan memberikan artikulasi baru terhadap lingkungan yang digarapnya.

Tubagus melihat, praktik yang dilakukan Widodo ini sebenarnya lazim di mana-mana. Tapi khusus di Semarang, ini tergolong baru karena ia menyimpang dari kelaziman sebagian besar perupa Semarang yang khusyuk bekerja di studio.
”Dengan menggambari dinding atau tebing bekas galian itu, praktik Widodo mirip yang dilakukan oleh manusia purba di gua-gua. Ia meninggalkan jejak-jejak dan pesan,” jelasnya.


Dalam wacana seni rupa kontemporer, lanjut Tubagus, Widodo telah menjadikan lanskap Brown Canyon sebagai kanvas besar bagi perupaan yang diproduksinya. Ini pilihan estetik dan artistik yang cerdas dan dahsyat.

”Dengan cara itu, ia memberikan makna baru terhadap Brown Canyon. Bukan saja sebagai situs yang terbengkalai, sekadar lokasi pemotretan semenjana. Gubahan Widodo itu memberikan nilai lebih sebagai situs kultural dan area wisata baru.” (*/ida/ce1)


source :

Pranoto, Radar Semarang10 Oktober 2016

https://radarsemarang.com/2016/10/10/mural-raksasa-di-tebing-bekas-galian-c-brown-canyon/