Laman

Senin, 17 November 2014

“Diplomasi Seni, Di Antara Dua Negara Dalam Negeri Kita Sendiri"


“Diplomasi Seni, Di Antara Dua Negara 
Dalam Negeri Kita Sendiri"











"Diplomasi Seni Di Antara Dua Negara Dalam Negri Kita Sendiri'karya; widodo kabutdo, mix media on canvas100x80cm 2010 (karya ini design cover buku Naskah Drama Tiga lakon karya:Bpk Nurhidayat Poso Seniman Sartra Tegal Jawa Tengah.



Pelukis Tegal widodo-widodokabutdo-Nurhidayat Poso sastrawan.Setelah 8th ttak berjumpa, akhirnya bisa berfoto bersama.(foto diatas tidak ada kaitannya dengan tusisan. ini hanya melengkapi data keterangan karya lukis di atas.



           Katakanlah dunia seni adalah Negeri kita, meskipun berpolitik itu hanya sekedar diplomasi cinta antar sesama. Katakanlah  Seni adalah Negeri kita …yang di huni orang jujur, setia,  kerja keras, ikhlas, tegar dan apa adanya , meskipun keberadaannya masih nupang di negri  tetangga. Negeri yang satu ini juga ada banyak jeritan sama seperti di negri tetangga., Tapi semua itu selalu di selimuti canda dan tawa, meskipun tak perlu nunjuk siapa presidannya.


    Saya khawatir para petinggi di Negeri kita yang satu ini mempunyai mental  seperti  pemimpin di Negri tetangga”Ini hanya sekedar orasi cinta” Pesan saya untuk para pakar dan petinggi Negeri yang bisa mengendalikan Negeri  kita yang satu ini…Ayo Bung!!, rangkullah anak Negeri ini sebelum mereka menjadi keledai di Negeri sendiri dan jangan biarkan sampai harus menggadaikan di Negeri orang, hanya karna mempertimbangkan gengsi dan keuntungan semata .”Jangan Tiru Negeri  Tetangga” banyak di huni dan melahirkan mental para pemimpin yang sudah tidak lagi sehat, yang  seharusnya Negeri  ini bisa SEHAT dan HEBAT. Namun kehebatannya selalu di sia-siakan dan di acuhkan.


    Anak Negeri  menangis ….Menangis karna kehebatannya di kalahkan tanpa adanya musuh yang melawan, anak Negeri murung karna kepintarannya di sia-siakan dan tergadaikan. Anak Negeri menjadi miskin karna selalu membuat kaya sebulum dirinya. Anak Negeri  hanya bisa  meratap karna tak ada sepenggal cerita yang bisa di ceritakan, kalau pun ada itu sudah jadi milik Negeri orang”akhir kisah Anak Negeri hanya berkata ajari aku menanamkan nasionalime dalam diri, agar aku bisa mencintai dan bangga berkarya di Negeri sendiri.

catatan Handphon....2013 Bali, Ubud "widodo kabutdo"

Sabtu, 15 November 2014

Melukis Itu Sehat, Apalagi Untuk Beristirahat



   Melukis bagiku sebuah penyegaran. Bagiku melukis adalah relaksasi/ istirahat, dengan melukis aku memiliki waktu untuk beristirahat, kenapa ? karena pada saat melukis aku berusaha untuk tidak berfikir keras lagi, segera ambil keputusan atau tidak sama sekali dari pada berpikir banyak saat hendak melukis. dibandingkan sebelum atau dalam keadaan tidak melukis.

     Saat melukis aku harus membebaskan apa yang akan muncul dalam intuisi dan munculnya imajinasi. Meskipun melukis  adalah tindakan yang  menyenangkan, dan  aku sangat mencintai pekerjaan ini, karna melukis sudah menjadi kebutuhan dan sulit untuk dipisahkan dalam hidup, Namun bagiku melukis sangatlah tidak mudah, walaupun saya mengatakan melukis adalah cara saya beristirahat.

   Dalam melukis aku tidak hanya  cukup bisa mengandalkan keahlian mengambar, dan memiliki ide cemerlang saat hendak melukis, namun dalam melukis aku juga harus bisa memilih, memfokuskan apa yang bisa aku presentasikan  dari apa yang telah saya buat.

   Adapun kesulitan lain, diantaranya bagaimana caranya   melukis “istirahat”  tanpa beban, seikhlas mungkin ,walau sementara saat melukis, aku harus bisa menanggalkan dulu pikiran, perasaan di luar persoalan yang kiranya akan dapat mengganggu saat aku melukis “beristirahat”, dan harus rileks tentunya, Seperti apa yang telah saya katakan melukis adalah waktu untuk saya beristirahat, jadi seperti layaknya orang yang sedang beristirahat, melukis ‘istirahat’ tidak bisa  di paksakan dan memaksakan diri. Meskipun itu bisa namun kualitas yang akan menentukan.

   Ketika sedang melukis,proses dialog antara hati dan pikiranku itu selalu terjadi. Dengan demikian, tak jarang saat aku melukis aku berusaha membagi antara hasil kerja otak/pikiran dan intuisi/suasana hati. Setelah proses melukis selesai, dialog antara otak dan hati seperti yang sedang mendiskusikan sesuatu, keduanya saling mempersentasikan hasil kerjanya.Seperti seakan mencari makna dan segera mengambil keputusan untuk mengembangkan proses kreatif berikutnya hingga batas akhir, meski seakan karya tak pernah bisa selesai. Adapun dalam proses berkarya yang memakan waktu  hingga bertahun-tahun lamanya untuk saya bisa memutuskan karya tersebut selesai.


   Tak jarang juga hingga berbulan-bulan aku tidak membuat gambar, bisa seperti diartikan kurangnya beristirahat. Lalu kapan saya bekerja dan kapan saat saya beristirahat? Saya bekerja saat saya berpikir, berkontemplasi, observasi, seperti layaknya manusia yang sedang menjelajahi semesta alam, bersosialisasi. Dan semuanya itu sebagai bentuk ritual yang menjadi sarana proses spirituallitas diri, Dan lalu aku akan berhenti untuk beristirahat dengan cara melukis.

    Melukis itu penyegaran, seperti beristirahat, Artinya dalam melukis aku ingin selalu mendapatkan penyegaran dan  menyegarkan tentunya. Sesuatu yang membebani harus segera di tinggalkan, agar dapat menampung kekuatan baru, imajinasi baru, dan tentunya dengan karya karya baru, yang dapat menyegarkan proses kreatifku selanjutnya.

    Melukis di atas limbah plastik adalah upayaku dalam berkarya, yang hanya mencoba memanfaatkat  limbah plastik, sebagai dasar media untuk aku melukis. walaupun aku tidak bisa lepas dari berbagi komentar, bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan sampah/limbah selalu di kait-kaitkan dengan lingkungan (seniman lingkungan). Bagiku seni memikili bahasa yang lentur, terbuka dan universal, termasuk seni harus mengikuti perkembangan industri, karena  seni tidak akan bisa lepas dari dunia industri.

“Widodo Kabutdo” Ubud- Bali 2011

Jumat, 14 November 2014

Seni Rupa Dan Kesadaran Ekologis

The Last Paradise adalah julukan yang, hingga kini, masih disandang oleh pulau Bali sebagai destinasi utama yang dikunjungi wisatawan dari seluruh dunia. Eksotika panorama alam tropis yang tergambar dalam birunya laut, lengkap dengan pasir putih dan sunset sebagai ornamen pendukungnya. Citraan itulah yang tentunya sudah melekat dalam benak semua orang dari seluruh penjuru dunia sebagai ekses dari reproduksi citra yang ditopang oleh kuatnya modal dari para penggerak industri pariwisata.
Tidak bisa dipungkiri memang, godaan mata uang asing memang menggiurkan bagi masyarakat dari sebuah negara berkembang. Kemandirian finansial yang belum tertata rapi secara sistematika sosial, dan kultur masyarakat yang terbuka sangat memungkinkan masuknya para investor di sektor wisata. Apalagi dengan modal dasar melimpah dari segi alam dan kultural sebagai daya tarik utama wisatawan.
Di Bali, industri pariwisata telah menjadi penggerak utama perekonomian masyarakatnya sejak kisaran tahun 1950-an. Hal ini tidak lepas dari peran pemerintah pusat yang terus membuka kran bagi investor untuk masuk dan menggerakkan roda industrinya di Bali. Mungkin sudah lebih dari seratus juta wisatawan yang datang ke Bali sejak kurun waktu tersebut. Seolah-olah, wisatawan sudah menjadi bagian dari tata sosial masyarakat. Mereka sudah begitu leluasa keluar masuk, berseliweran di antara aktifitas sosial dan keagamaan yang dilakukan masyarakat. Bahkan masyarakatnya sendiri pun, sudah tidak risih ketika tengah kusyuk berdoa, dan disampingnya seorang wisatawan asyik memotretnya berulang kali.
Ekses utama dari penggembangan industri prawisata secara jor-joran yang paling nampak saat ini adalah semakin pudarnya relasi antara manusia dan alam, yang padahal merupakan ruh dari tradisi masyarakat Bali secara turun temurun. Alih fungsi lahan hijau menjadi bangunan-bangunan infrastruktur penopang pariwisata tentu berimbas langsung pada makin tergerusnya eksistensi alam sebagai penopang utama keseimbangan ekologi.
Berbagai elemen masyarakat yang peduli terhadap persoalan tersebut berusaha melontarkan kritik terhadap pemerintah, tidak luput beberapa perupa yang turut menyuarakan kritik dengan menggelar pameran. Adalah Galangkangin, kelompok seni rupa yang dimotori oleh I made supena menggelar sebuah pameran dengan tajuk “kesadaran makro ekologis” di Bentara Budaya Bali (20/9) sebagai bentuk kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan ekologis yang terjadi di Bali.
Air menjadi elemen utama yang disoroti oleh mereka. Dengan mengusung gagasan transformasi air dalam ruang seni rupa, mereka mencoba menampilkan berbagai bentuk instalasi yang menggunakan air sebagai pijakan berpikirnya. Bagi mereka, air merupakan sumber kehidupan. Dalam aspek kosmologis, di Bali air juga menjadi komponen utama penggerak sistem sosial dan ekonomi masyarakatnya yang masih didominasi oleh tradisi agraris.
Minimnya kesadaran masyarakat dalam menjaga keberlangsungan hidup dengan melestarikan air sebagai komponen utama penyangga alam, menjadi keprihatinan utamanya. Melalui pameran tersebut, Galangkangin melakukan sebuah upaya edukasi terhadap masyarakat mengenai pentingnya air bagi kehidupan, tentu dengan tujuan agar masyarakat semakin peduli dan turut serta menjaga kelestarian alam.
Karya Widodo Kabutdo di atas medium plastik bekas
Karya Widodo Kabutdo di atas medium plastik bekas
Ini bukan kali pertama Galangkangin mengusung tema pelestarian alam dalam pamerannya. Pada 2012 lalu, Galangkangin juga menggelar pameran bertema serupa di Griya Santrian, Sanur. Saat itu, isu utama yang diusung adalah mengenai peralihan fungsi lahan pertanian menjadi hunian. Semakin meningkatnya jumlah populasi masyarakat yang tinggal di Bali, tidak hanya dari semakin berkembangnya masyarakat lokal, melainkan juga jumlah pendatang yang terus meningkat setiap tahunnya menuntut semakin luasnya areal pemukiman yang dapat ditempati. Hal ini tentu menuntut adanya alih fungsi lahan.
Di Bali sendiri, alam, lingkungan, dan persoalan lingkungan masih menjadi tema utama yang disuarakan oleh para perupa. Beberapa nama di luar kelompok Galangkangin, seperti Made Bayak, Widodo Kabutdo, Bakti Wiyasa, hingga maestro Made Wianta masih menunjukkan kepeduliannya terhadap persoalan ekologis yang kini menjadi persoalan utama di Bali.
Made Bayak dan Widodo Kabutdo, dalam beberapa karyanya cukup konsisten untuk bertransformasi media dari kanvas ke plastik bekas. Mereka tidak lagi melukis di atas kanvas, melainkan di plastik-plastik limbah rumah tangga yang mereka peroleh dari kehidupannya sehari-hari. Kesadaran ini tumbuh dari kegelisahan mengenai tingginya penggunaan plastik dalam kehidupan, padahal limbah plastik bersifat anorganik dan membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk dapat terurai sempurna.
Sejak disentuh oleh industri pariwisata, secara perlahan-lahan, Bali mengalami degradasi ekologis yang cukup signifikan. Persoalan-persoalan kelestarian lingkungan dan semakin menurunnya jumlah lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi infrastruktur penopang pariwisata, pada akhirnya menjadi isu yang terus berulang dan terngiang-ngiang di telinga. Maka dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk dapat mengembalikannya ke kondisi semula, atau setidaknya mencegah kerusakan yang lebih parah. Dan para perupa, bersiap untuk menggedor kesadaran mereka melalui karya-karya yang bernas dan kritis.
Dwi S. Wibowo
- See more at: http://jogjareview.net/seni/seni-rupa-dan-kesadaran-ekologis/#sthash.MCLNCegs.dpuf


http://jogjareview.net/seni/seni-rupa-dan-kesadaran-ekologis/ 
 http://jogjareview.net/category/seni/

 Seni Rupa dan Kesadaran Ekologis

Seni Rupa dan Kesadaran Ekologis

Jogjareview.net | 10-Okt-2014 08:10:31
- See more at: http://jogjareview.net/seni/seni-rupa-dan-kesadaran-ekologis/#sthash.MCLNCegs.dpuf

Seni Rupa dan Kesadaran Ekologis



The Last Paradise adalah julukan yang, hingga kini, masih disandang oleh pulau Bali sebagai destinasi utama yang dikunjungi wisatawan dari seluruh dunia. Eksotika panorama alam tropis yang tergambar dalam birunya laut, lengkap dengan pasir putih dan sunset sebagai ornamen pendukungnya. Citraan itulah yang tentunya sudah melekat dalam benak semua orang dari seluruh penjuru dunia sebagai ekses dari reproduksi citra yang ditopang oleh kuatnya modal dari para penggerak industri pariwisata.
Tidak bisa dipungkiri memang, godaan mata uang asing memang menggiurkan bagi masyarakat dari sebuah negara berkembang. Kemandirian finansial yang belum tertata rapi secara sistematika sosial, dan kultur masyarakat yang terbuka sangat memungkinkan masuknya para investor di sektor wisata. Apalagi dengan modal dasar melimpah dari segi alam dan kultural sebagai daya tarik utama wisatawan.
Di Bali, industri pariwisata telah menjadi penggerak utama perekonomian masyarakatnya sejak kisaran tahun 1950-an. Hal ini tidak lepas dari peran pemerintah pusat yang terus membuka kran bagi investor untuk masuk dan menggerakkan roda industrinya di Bali. Mungkin sudah lebih dari seratus juta wisatawan yang datang ke Bali sejak kurun waktu tersebut. Seolah-olah, wisatawan sudah menjadi bagian dari tata sosial masyarakat. Mereka sudah begitu leluasa keluar masuk, berseliweran di antara aktifitas sosial dan keagamaan yang dilakukan masyarakat. Bahkan masyarakatnya sendiri pun, sudah tidak risih ketika tengah kusyuk berdoa, dan disampingnya seorang wisatawan asyik memotretnya berulang kali.
Ekses utama dari penggembangan industri prawisata secara jor-joran yang paling nampak saat ini adalah semakin pudarnya relasi antara manusia dan alam, yang padahal merupakan ruh dari tradisi masyarakat Bali secara turun temurun. Alih fungsi lahan hijau menjadi bangunan-bangunan infrastruktur penopang pariwisata tentu berimbas langsung pada makin tergerusnya eksistensi alam sebagai penopang utama keseimbangan ekologi.
Berbagai elemen masyarakat yang peduli terhadap persoalan tersebut berusaha melontarkan kritik terhadap pemerintah, tidak luput beberapa perupa yang turut menyuarakan kritik dengan menggelar pameran. Adalah Galangkangin, kelompok seni rupa yang dimotori oleh I made supena menggelar sebuah pameran dengan tajuk “kesadaran makro ekologis” di Bentara Budaya Bali (20/9) sebagai bentuk kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan ekologis yang terjadi di Bali.
Air menjadi elemen utama yang disoroti oleh mereka. Dengan mengusung gagasan transformasi air dalam ruang seni rupa, mereka mencoba menampilkan berbagai bentuk instalasi yang menggunakan air sebagai pijakan berpikirnya. Bagi mereka, air merupakan sumber kehidupan. Dalam aspek kosmologis, di Bali air juga menjadi komponen utama penggerak sistem sosial dan ekonomi masyarakatnya yang masih didominasi oleh tradisi agraris.
Minimnya kesadaran masyarakat dalam menjaga keberlangsungan hidup dengan melestarikan air sebagai komponen utama penyangga alam, menjadi keprihatinan utamanya. Melalui pameran tersebut, Galangkangin melakukan sebuah upaya edukasi terhadap masyarakat mengenai pentingnya air bagi kehidupan, tentu dengan tujuan agar masyarakat semakin peduli dan turut serta menjaga kelestarian alam.
Karya Widodo Kabutdo di atas medium plastik bekas
Karya Widodo Kabutdo di atas medium plastik bekas
Ini bukan kali pertama Galangkangin mengusung tema pelestarian alam dalam pamerannya. Pada 2012 lalu, Galangkangin juga menggelar pameran bertema serupa di Griya Santrian, Sanur. Saat itu, isu utama yang diusung adalah mengenai peralihan fungsi lahan pertanian menjadi hunian. Semakin meningkatnya jumlah populasi masyarakat yang tinggal di Bali, tidak hanya dari semakin berkembangnya masyarakat lokal, melainkan juga jumlah pendatang yang terus meningkat setiap tahunnya menuntut semakin luasnya areal pemukiman yang dapat ditempati. Hal ini tentu menuntut adanya alih fungsi lahan.
Di Bali sendiri, alam, lingkungan, dan persoalan lingkungan masih menjadi tema utama yang disuarakan oleh para perupa. Beberapa nama di luar kelompok Galangkangin, seperti Made Bayak, Widodo Kabutdo, Bakti Wiyasa, hingga maestro Made Wianta masih menunjukkan kepeduliannya terhadap persoalan ekologis yang kini menjadi persoalan utama di Bali.
Made Bayak dan Widodo Kabutdo, dalam beberapa karyanya cukup konsisten untuk bertransformasi media dari kanvas ke plastik bekas. Mereka tidak lagi melukis di atas kanvas, melainkan di plastik-plastik limbah rumah tangga yang mereka peroleh dari kehidupannya sehari-hari. Kesadaran ini tumbuh dari kegelisahan mengenai tingginya penggunaan plastik dalam kehidupan, padahal limbah plastik bersifat anorganik dan membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk dapat terurai sempurna.
Sejak disentuh oleh industri pariwisata, secara perlahan-lahan, Bali mengalami degradasi ekologis yang cukup signifikan. Persoalan-persoalan kelestarian lingkungan dan semakin menurunnya jumlah lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi infrastruktur penopang pariwisata, pada akhirnya menjadi isu yang terus berulang dan terngiang-ngiang di telinga. Maka dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk dapat mengembalikannya ke kondisi semula, atau setidaknya mencegah kerusakan yang lebih parah. Dan para perupa, bersiap untuk menggedor kesadaran mereka melalui karya-karya yang bernas dan kritis.
Dwi S. Wibowo

Kamis, 13 November 2014






    Berbicara masalah budaya Bali, tidak akan pernah terlepas dari agama Hindu yang dianut mayoritas masyarakat Bali. Dalam suatu konsep agama Hindu dalam mempersiapkan sarana persembahyangan, yang antara lain : air, api, bunga, buah, daun. Dalam budaya Bali, konsep ini kemudian dipraktekkan dalam wujud seni.Salah satunya adalah keanekaragaman bentuk sesajen.

    Canang  berasal dari dua suku kata “Ca” yang berarti indah dan “Nang” yang diartikan sebagai tujuan yang dimaksud sesuai dengan kamus Kawi/JawaKuno (Sudarsana, 2010:1). Sari berarti inti atau sumber.
    Dengan demikian maksud dan tujuan canang adalah sebagai saran bahasa Weda untuk memohon keindahan  kekuatanWidya kehadapan Ida Sang HyangWidhiWasa  beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala. 

    Keanekaragaman warna, bentuk, fungsi dan makna, yang tentu tak lepas dari makna filosofisnya.Begitu pula dengan seni (manifstasi-nya) begitu besarnya dalam menggubah keanekaragaman dari sumberdaya Alam, Manusia dan Budaya.

    Dalam karya “canang” ini saya membuat karya kolase dari benda yang saya temui sehari-hari dari  kehidupan dan lingkungan di sekitar saya. Walaupun demikian mengingat bahwa plastic kresek menjadi kebutuhan yang sangat lekat /bahkan bisa di katakana penting bagi masyarakat modern.Begitu juga dengan  “Canang” bagi masyarakat Bali “Canang”adalah persembahan paling inti dalam upacara (sembahyang). Begitu pula Kresek dalam kehidupan masyarakat modern seolah menjadi bagian dari ritus, bagi masyarakat budaya konsumerisme pada masa kini.       
    Karya seni yang saya buat adalah bentuk keprihatinan saya terhadap lingkungan khususnya Bali pada konteks budaya kekinian. Seakan ada harapan bagi kemunculan sebuah karya seni sebagai reaksi untuk bertindak  dalam membangun konstruksi maupun merekonstruksi wajah maupun prilaku pada budaya sehari-hari masyarakat kini. Seperti apa yang tersuratkan dari konsep pada makna yang terkandung pada porosan yang menjadi bagian dari komponen canang ini.


     Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir sebagai lambang/nyasa Tri-Premana, Bayu, Sabda, dan Idep. Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai nyasa Bhatara Visnu, dalam bentuk tri-premana sebagai lambang/nyasa dari Sabda (perkataan), Jambe/Gambir sebagai nyasa Bhatara Brahma, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Bayu (perbuatan), Kapur/Pamor sebagai lambang/nyasa Bhatara Iswara, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Idep (pikiran). Suatu kehidupan tanpa dibarengi dengan Tri-premana dan Tri Kaya, suatu kehidupan tiadalah artinya, hidup ini akan pasif, karena dari adanya Tri-premana dan Tri Kaya itulah kita bisa memiliki suatu aktivitas, tanpa kita memiliki suatu aktivitas kita tidak akan dapat menghadapi badan ini. Suatu aktivitas akan terwujud karena adanya Tri-Premana ataupun Tri-kaya.

     Dalam karya seri canang ini, saya bekerja secara spontan untuk membuat komposisi bentuk dan warna, yang saya gambarkan sebagaimana komponen canang.Secara intuitif saya memilih kresek warna dominan hitam dan putih sebagaimana di simbolkan yang terdapat pada komposisi/komponen pada porosan.begitu juga dengan komposisi yang saya buat secara abstraksi pada tiap panel, yang menjadi bagian fragmen pada replika komponen-komponen canang. Karya ini saya presentasikan dalam gabungan beberapa media seni instalasi drawing dan proyektor, dimana pada karya kolase kresek saya display dalam komposisi berjajar ….panel berada dalam satu dinding penuh yang saya proyeksi dengan timeline image karya drawing berlatar tumpukan canang adapun beberapa teks yang saya kutip dari Gita IX.26 (patram puspam plalam toyam yo me bhatya prayacchati tat aham bhakty-upahrtam asnami prayatatmanah. Yang artinya: siapapun yang dengan sujud bhakti kehadapan-Ku mempersembahkan sehelai daun, sebiji buah-buahan,seteguk air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci), dan masih dalam satu partisi ruangan di hadirkan karya instalasi drawing yang terbuat dari lempengan papan kira kira berukuran T25cm L2m P3m yang di bungkus kertas putih bergaris kotak-kotak dan beberapa element karya lain yang menandai sebagai interpretasi rekonstruksi budaya membuang canang di dalam plastik.